Pada masa kerajaan majapahit, batik dikenal sebagai salah satu atribut kelengkapan dalam sebuah ritual sebagai pakaian ataupun kain pembalut tubuh. Batik juga dapat melambangkan tingkatan status sosial dalam masyarakat jawa. Pada jaman dahulu, kalangan bangsawan kerajaan biasanya mengenakan batik dengan motif garuda sebagai simbol kekuatan dan kemewahan. Kalangan ningrat (darah biru) juga biasanya menggunakan batik dengan bahan kain sutra yang mengesankan kemewahan dan keagungan. Sedangkan kalangan rakyat jelata hanya menggunakan motif seadanya, seperti motif daun, binatang dan lain sebagainya.
Selain sebagai pertanda pranata sosial, corak batik juga merupakan simbol-simbol penuh makna yang memperlihatkan cara berfikir masyarakat pembuatnya. Dalam tataran budaya, ada beberapa motif batik yang dikenal makna filosofinya. Beberapa motif tersebut seperti :[1]
1. Motif Kawung : motif ini berbentuk teratai yang sedang merekah. Motif melambangkan kesucian dan umur panjang.
2. Motif Parang : motif berbentuk mata parang, melambangan kekuasaan dan kekuatan. Hanya boleh dikenakan oleh penguasa dan ksatria.
3. Motif Sawat : motif berbentuk sayap, hanya dikenakan oleh raja dan putra raja.
Corak batik tertentu dipercaya memiliki kekuatan gaib dan hanya boleh dikenakan oleh kalangan tertentu. Misalnya, motif parang yang melambangkan kekuatan dan kekuasaan, hanya boleh dikenakan oleh penguasa dan ksatria. Batik jenis ini harus dibuat dengan ketenangan dan kesabaran yang tinggi. Kesalahan dalam proses pembatikan dipercaya akan menghilangkan kekuatan gaib batik tersebut.
Motif batik diciptakan tidak berdasarkan pertimbangan nilai estetis saja, tetapi juga berdasarkan harapan-harapan yang dituangkan dalam bentuk banyak simbol, misalnya sebagai berikut : [2]
1. Ragam Hias Slobong : memiliki arti lancar dan longgar. Motif ini digunakan untuk melayat dan bermakna harapan agar arwah orang yang meninggal dunia dapat dengan lancar menghadap kepada Tuhan dan diterima di sisi-Nya.
2. Ragam Hias Sida Mukti : berarti “jadi bahagia”. Motif ini dikenakan oleh pengantin pria maupun wanita, dengan harapan keduanya akan memperoleh kebahagiaan selama hidupnya.
Warna yang terkandung dalam kain batik juga mengandung makna filosofis. Warna hijau melambangkan alam, yang berarti tenang, dan segar. Warna ini menjadi salah satu pilihan paling digemari jika seseorang ingin tampil segar dan bersemangat. adalah simbol kasih sayang dan gairah. Warna merah adalah warna yang sarat emosi. Memiliki karateristik menantang namun menarik perhatian. Warna-warna cerah merah dan biru juga dapat menggambarkan maskulinitas dan suasana dinamis. Oleh karena itu, warna-warna biru dan merah tua yang seringkali digunakan pada motif megamendung, yang mengambarkan psikologi masyarakat pesisir yang lugas, terbuka, dan egaliter.
Ditinjau dari proses pembuatannya, seni batik terutama batik tulis melambangkan kesabaran pembuatnya. Setiap hiasan dibuat dengan teliti dan melalui proses yang panjang. Kesempurnaan motif tersebut menyiratkan ketenangan pembuatnya.
Filosofis batik dalam birokrasi
Batik memang memiliki nilai filosofis dan makna yang hermeuneutik dalam simbol, corak, warna, kain dan proses pembuatannya. Semua unsur tersebut memiliki makna yang dapat diatrikan atau diintrepretasikan apabila dicermati dan dikaji lebih mendalam. Dari sudut pandang proses pembuatan, batik dibuat dengan berbagai motif yang memenuhi lembaran kain bahan pembuat batik tersebut adalah sebuah mahakarya yang digoreskan dengan penuh kesabaran, ketelitian, ketekunan dan ketenangan.
Dari kacamata hermeuneutik, bahan kain pembuatan batik dapat dimaknai sebagai sebuah hamparan kehidupan yang semula putih (kosong) dan tidak memiliki motif (memiliki tujuan). Begitu juga dengan awal mula manusia dilahirkan di dunia. Manusia bagaikan kain putih yang kosong, belum memiliki warna dan tujuan kehidupan. Hingga manusia berlomba-lomba dan berkompetisi dalam berkarya dan mengejar tujuan kehidupan, tujuan kehidupan yang manusia cita-citakan.
Proses pembuatan batik tersebut dapat diinterpretasikan sebagai goresan yang penuh akan karya indah di setiap jengkal kain, yang dimaknai sebagai sebuah kehidupan. Begitu halnya dengan sebuah birokrasi. Birokrasi adalah sebuah kain yang harus di beri pola yang bagus, indah dan baik. Birokrasi harus memiliki “image” yang bagus di mata masyarakat. Oleh karena itu, birokrasi harus bersih, transparan dan terhindar dari segala bentuk praktek KKN (Korupsi, Kolusi dan Nepotisme).
Birokrasi harus diisi dengan goresan karya terbaik oleh para birokratnya. Karya-karya yang bermakna dan bermanfaat bagi negara dan bangsa. Para birokrat harus cerdas, pandai dan mampu menjadi suri teladan yang baik “khuswatun khasanah”. Untuk mendapatkan birokrat yang memiliki karakteristik diatas, birolrasi harus melakukan sistem rekruitmen yang baik, bersih dan terhindar dari nepotisme. Implementasi merit sistem adalah salah satu solusi yang tepat untuk mendapatkan birokrat yang mampu memberikan karya-karya terbaikny bagi bangsa Indonesia.
Para birokrat juga harus memiliki kesabaran, ketelitian, ketekunan dan ketenangan dalam menjalankan amanah tugas sebagai abdi masyarakat. Para birokrat dan birokrasi harus memposisikan dirinya sebagai pembuat batik dengan karya-karya terbaik untuk masyarakat. Memposisikan diri sebagai pelayan bukan penguasa.
Birokrasi seharusnya memandang batik tidak sebatas dengan produk yang memiliki nilai seni dan patut dilestarikan dengan cara memakainya setiap hari jum’at (batik days) atau pada hari-hari tertentu yang diwajibkan penggunaanya oleh pemerintah. Birokrasi harus memahami nilai-nilai filosofis dibalik batik yang mereka kenakan tersebut. Perlu pemahaman yang mendalam dan pendidikan yang mumpuni agar birokrasi dapat membaca makna tersirat dari sebuah kain batik. Sebuah mahakarya, seni-budaya dan suri teladan dari para leluhur bangsa Indonesia.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Silahkan tinggalkan komentarny kawan, terimakasih...