Kamis, 15 Oktober 2009

Peran capital trust dalam model kebijakan berbasis empowerment

   
Setelah runtuhnya Orde Baru pada masa transisional pasca reformasi, indonesia dilanda oleh krisis kepercayaan yang berkepanjangan. Kepercayaan masyarakat terhadap pemerintah sangatlah rendah pada masa tersebut. Suatu hal yang sangat rasional yang argumentatif apabila kita melihat track record pemerintahan yang pada saat itu, pemerintahan yang dilanda oleh berbagai kasus korupsi, kolusi dan nepotisme (KKN) yang sangat parah. KKN yang sudah sangat terorganisir dan sistematis di dalam pemerintahan menyebabkan masyarakat kehilangan kepercayaan terhadap jalannya roda pemerintahan.

Akibat langsung yang dapat kita lihat pada saat itu adalah timbulnya berbagai demonstrasi, kekerasan dan penjarahan oleh oknum-oknum tertentu dimana-mana. Demonstrasi dan kekerasan tersebut tak lain merupakan sebagai bentuk ketidakpuasan dan ketidakpercayaan terhadap jalannya roda pemerintahan yang di bangun oleh pemerintahan transisional pada masa itu. Masyarakat takut dan ragu menanamkan trust kepada pemerintah. Dan pemerintah pun menghadapi status quo, tidak memiliki kemampuan untuk menumbuhkan kepercayaan dalam masyarakat terhadap pemerintahan.


Rendahnya kepercayaan dalam tubuh masyarakat terhadap pemerintahan berdampak langsung pada gagalnya kebijakan pemerintah di berbagi sektor. Sebagai contoh gagalnya implementasi kebijakan di sektor pertanian. Masyarakat yang umumnya berkerja di sektor agraris sebagai obyek kebijakan merasa pemerintah terlalu mengatur tanpa melihat karakteristik di daerah mereka. Masyarakat meyakini berbagai kebijakan tersebut hanya akan merugikan pertanian mereka. Apatisme masyarakat ini terbentuk karena pola pikir dan pandangan negatif yang tertanam di benak masyarakat.
Sementara dengan adanya krisis kepercayaan dari berbagai kalangan mengakibatkan perekonomian indonesia menjadi semakin terpuruk dan bertambah parah. Pembangunan di segala sektor pun terhambat karena permasalahan pendanaan. Kebijakan berbasis pembangunan (development) yang semula rencananya akan direalisasikan dengan menggunakan pendanaan yang besar mengalami kendala. Berbagai proyek pembangunan pun menjadi macet dan ada beberapa yang gagal di realisasikan.
Seiring berjalannya waktu, pemerintah mulai berpikir untuk mengubah model-model kebijakan berbasis development menjadi empowement. Kebijakan berbasis development nampaknya sudah out of date dan sulit untuk di implementasikan di dalam masyarakat. Walaupun pemerintah mengetahui secara pasti bahwa kepercayaan masyarakat terhadap pemerintah nampaknya masih mengalami krisis berkepanjangan.

Munculnya paradigma empowerment
Dalam good governance terdapat tiga aktor penting yang saling mensuport dan berkolaborasi untuk menjalankan roda pemerintahan yang baik. Tiga aktor tersebut adalah pemerintah, masyarakat dan swasta. Ketiga belah pihak tersebut harus saling berkerjasama. Pemerintah dan swasta nampaknya sudah saling berkerjasama dan berinteraksi pada jaman orde baru. Namun, partisipasi dan peran masyarakat dalam pemerintahan nampaknya masih di pertanyakan.

Posisi tawar (bargaining position) masyarakat diantara kedua aktor diatas nampaknya paling kecil dan kurang memiliki kekuatan (powerless). Oleh karena itu perlu adanya suatu perimbangan posisi tawar antara pemerintah, swasta dan masyarakat dalam menjalankan good governance. Merujuk pada perimbangan posisi tawar, tingkat partisipatif masyarakat perlu di angkat. Pembangunan yang semula satu arah dan kurang melibatkan masyarakat dirubah menjadi pembangunan dengan model yang melibatkan dan mengangkat peran partisipasif masyarakat yaitu melalui pembuatan model kebijakan berbasis pemberdayaan masyarakat (empowerment).
Kepercayaan publik merupakan modal utama
Kepercayaan publik adalah modal utama yang harus dibangun oleh pemerintah untuk menjalankan kebijakan dengan model implementasi berbasis empowerment (pemberdayaan masyarakat). Membangun kepercayaan publik terhadap pemerintah bukanlah suatu wacana yang mudah untuk diangkat. Kepercayaan publik kepada pemerintah dapat terbentuk apabila pemerintah tersebut bersih, transparan dan terhindar dari berbagai penyakit birokrasi (patologi birokrasi) yang mengakar berpuluh-puluh tahun pada jaman orde baru.

Peran pengawasan yang kuat lembaga independen seperti KPK, Ombudsman dan sebagainya sangatlah penting dalam mewujudkan public trust. Hal serupa dijelaskan oleh Herry Zudianto dalam wawancara dengan sebuah televisi swasta di daerah solo, “ Kepercayaan publik adalah modal utama dalam menjalankan kebijakan berbasis pembrdayaan masyarakat”.

Modal kercayaan (capital trust) merupakan modal dan landasan utama untuk menjalankan kebijakan berbasis empowerment. Model kebijakan berbasis empowerment akan sulit di implementasikan apabila tingkat apatisme masyarakat terhadap pemerintahan sangat tinggi. Perlu adanya pemerintahan yang bersih dan transparan untuk menumbuhkan capital trust di dalam masyarakat. (roots-)
Fuad Setiawan Khabibi
Mahasiswa Jurusan Manajemen dan Kebijakan Publik
Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik
Universitas Gadjah Mada 
http://rakha-ulilalbab.blogspot.com 

1 komentar:

Silahkan tinggalkan komentarny kawan, terimakasih...