Selasa, 07 Juni 2011

Eksistensi Pancasila Dalam Spektrum Kebijakan Publik Indonesia


Setelah reformasi dan menguatnya pemikiran tentang demokrasi, ideologi dasar yang sering dijadikan pijakan oleh pemerintah dalam pembuatan kebijakan publik adalah ideologi-ideologi asing, seperti  modernisme, developmentalisme dan berbagai ideologi barat lainnya. Konsep-konsep tersebut sebenarnya baik, namun terkadang kurang sesuai dengan kondisi bangsa Indonesia yang ber-bhineka dan memiliki latar belakang sosial-budaya yang berbeda.
Pengadopsian ideologi-ideologi asing tersebut telah membawa Indonesia menjauh dari pancasila. Kebijakan publik yang selama ini kita bangun ternyata belum mampu merepresentasikan nilai-nilai pancasila secara kaffah.
Kita semua mengetahui bahwa disaat robohnya atap SD di berbagai daerah, sama sekali tidak ada esensi kemanusiaan yang adil dan beradab dalam kebijakan pembangunan gedung baru DPR. Tidak ada nilai-nilai keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia dalam kebijakan rekruitmen pegawai pemerintahan yang didasari oleh kolusi. Bahkan lebih mengenaskan lagi, tidak ada sila ketuhanan yang maha Esa dalam handphone wakil rakyat (para pembuat kebijakan publik) di DPR. “Lantas dengan dasar apa kebijakan publik yang selama ini disusun oleh para policy maker kita?”.
Seperti yang telah disebutkan sebelumnya, selama ini kebijakan publik disusun berdasarkan ideologi asing. Kebijakan publik disusun berdasarkan asas modernisme, sebuah teori yang menginginkan manusia bergerak secara linear menuju indikator-indikator kemajuan yang disusun oleh bangsa barat.[1] Ideologi asing itu menjauhkan sensitifitas para pembuat kebijakan publik. Hingga saat ini, pembangunan mall masih menjadi alternatif nomor wahid untuk meningkatkan pertumbuhan perekonomian daerah, sementara penggusuran PKL diterjemahkan sebagai pilihan utama untuk membuat kebijakan penataan daerah.
Perlahan pancasila mulai dilupakan, bahkan seorang Bupati disebuah Kabupaten X salah membaca pancasila dalam sebuah upacara bendera (ditertawakan oleh siswa SD pula). Sudah pasti, Bupati tersebut lupa sila-sila yang terkandung dalam pancasila. Sebuah poin yang menjadi sangat penting untuk dipertanyakan adalah: “Bagaimana mungkin para birokrat dapat menyusun dan melaksanan sebuah kebijakan publik yang berdasarkan pancasila, sedangkan Kepala Pemerintahan di daerahnya saja sudah melupakan pancasila?”.
Sekarang Indonesia ditempatkan sebuah pilihan dilematis. Jika kebijakan publik kita terlalu pancasilais, pembangunan Negara Indonseia mungkin saja akan tertinggal dengan pembangunan di Negara-negara lain. Namun, apabila ideologi asing yang terlalu kita adopsi, maka kita akan melupakan jati diri kita sebagai bangsa memegang teguh pancasila. Jalan tengah bukanlah solusi, jika hal itu hanya akan semakin memperlemah eksistensi pancasila dalam spektrum kebijakan publik Indonesia.
Ditulis untuk memperingati hari kelahiran pancasila, 1 juni 2011.
Untuk Kolom Opini Koran Kedaulatan Rakyat.
Fuad Setiawan Khabibi
Mahasiswa Jurusan Manajemen dan Kebijakan Publik, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Gadjah Mada


[1] Lihat Mansour Fakih. 2002. Runtuhnya Teori Pembangunan dan Globalisasi. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Hal 54.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Silahkan tinggalkan komentarny kawan, terimakasih...