Sabtu, 24 September 2011

Mengejar Swasembada Pangan di Era Demokrasi: Mungkinkah?

"... Di jaman demokrasi, pemerintah tidak bisa memaksa petani untuk mengejar target swasembada beras seperti yang dilakukan oleh pemerintahan Orde Baru...".
Jum’at 23 September 2011 lalu, melalui sebuah wawancara dengan Metro TV, ketua HKTI mengungkapkan bahwa 60% bahan pangan Indonesia adalah hasil import dari luar negeri. Biaya untuk mengimport bahan pangan tersebut jumlahnya berbanding terbalik dengan defisa total Indonesia yang relative lebih kecil. Dengan kata lain, Indonesia akan mengalami dampak negatif apabila Indonesia terus-terusan membeli bahan pangan dari luar negeri.
Kebijakan pertanian pemerintah selalu menjadi kambing-hitam. Bagaimana tidak, di Negara yang notabene adalah Negara agraris yang kaya akan sumberdaya pertanian ini ternyata tidak mampu mencukupi kebutuhan pangannya sendiri. Bahkan setengah dari kebutuhan pangan dalam negeri pun tidak dapat tercukupi dengan baik.
Apakah kebijakan pertanian pemerintah serta-merta bersalah?. Tidak, jika kita menggunakan perspektif demokrasi untuk menjawabnya.
Di jaman demokrasi, pemerintah tidak bisa memaksa petani untuk menanam dan mengejar target swasembada beras seperti yang dilakukan oleh pemerintahan Orde Baru. Birokrasi akan dipersalahkan dan bahkan akan digugat melalui jalur peradilan, jika berani mengintervensi petani terlalu berlebihan seperti yang dilakukan oleh rezim otoritarian Orde Baru.
Idealnya model kebijakan yang dikembangkan oleh pemerintah pada jaman demokrasi adalah model kebijakan berbasis pemberdayaan (empowerment). Dimana program akan disusun apabila ada masukan atau permintaan dari kelompok tani yang tergabung dalam GAPOKTAN. Jika tidak ada deal antara pemerintah dan petani, maka kebijakan tersebut tidak akan disusun atau mendapat dukungan penuh dari petani. Sehingga program tersebut tidak akan terlaksana dengan efektif.
Belum lagi jika impian swasembada beras dihadapkan pada berkembang-kembalinya konsep pertanian organik. Dalam pertanian organik, petani hanya menanam padi setahun 1-2 kali. Petani tidak mau menggunakan saprodi (sarana produksi) kimia yang dianggap dapat meningkatkan produktivitas secara signifikan dalam waktu yang relatif singkat. Petani organik umumya lebih memilih panen dengan produksi sedikit, tetapi petani dapat menjual beras organik dengan harga tinggi, mengingat harga beras organik dipasaran domestik dan internasional sangat tinggi.
Bagi petani, kesejahteraan petani akan segera tercapai apabila mereka menanam padi organik. Namun disisi lain, pertanian organik masih sering ditafsirkan oleh beberapa ahli sebagai musuh atas swasembada pangan dan ketahanan pangan nasional. Masih relevankah target swasembada pangan dipaksakan kepada petani di era demokrasi?.
Rasanya tidak relevan, karena hal tersebut menyalahi prinsip-prinsip dasar demokrasi. Di jaman demokrasi yang mengadopsi konsep otonomi daerah seperti Indonesia, produksi pangan suatu daerah hanya ditujukan untuk memenuhi kebutuhan stok suatu daerah tersebut.  Banyaknya lahan persawahan yang dikelola oleh petani daerah dan tidak adanya paksaan untuk mencapai target swasembada pangan seperti orde baru mengakibatkan target swasembada pangan sulit untuk dilakukan.
Solusinya praktisnya adalah tetap mengimpor beras non-organik untuk memenuhi stok beras nasional. Namun disisi lain kita harus meningkatkan ekspor beras organik. Harga beras organik dipasaran internasional akan membuat petani Inonesia untung dari sisi harga. Namun dari sisi kesehatan, rakyat kita akan merugi karena mengkonsumsi beras anorganik. Benar-benar solusi praktis yang dilematis.

Fuad Setiawan Khabibi
Yogyakarta 2011

1 komentar:

  1. Menurut saya ada kemungkinan karena semua nya hanya bergantung pada 2 hal, yaitu pemerintah dan masyarakat :)

    BalasHapus

Silahkan tinggalkan komentarny kawan, terimakasih...